Beranda | Artikel
Dua Macam Hidayah Yang Kita Butuhkan
Selasa, 10 Desember 2013

images

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ‘menuju jalan’ dan hidayah ‘di atas jalan’. Hidayah menuju jalan adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah di atas jalan adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [1/36])

Dari sisi lain, hidayah juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistiqomahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 20).

Hidayah taufik adalah seperti yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (QS. al-Qoshosh: 56). Adapun hidayah penunjukan adalah seperti yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS. asy-Syura: 52) (lihat at-Tas-hil li Ta’wil at-Tanzil [1/109])

Dengan kata lain, hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ilmu dan hidayah amal. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang salih.” (lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).       

Mutharrif bin Abdillah bin asy-Syikhkhir rahimahullah berkata, “Seandainya kebaikan ada di telapak tangan salah seorang dari kita. Niscaya dia tidak akan sanggup menuangkan kebaikan itu ke dalam hatinya kecuali apabila Allah ‘azza wa jalla yang menuangkannya ke dalam hatinya.” (lihat Aqwal Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman [1/131])

Asas segala kebaikan adalah pengetahuanmu bahwasanya apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa saja yang tidak Allah kehendaki tidak akan bisa terjadi. Pada saat itulah akan tampak jelas bahwa segala kebaikan bersumber dari nikmat-Nya sehingga kamu harus bersyukur atasnya. Kamu harus merendahkan diri dan memohon kepada-Nya jangan sampai Dia memutus nikmat itu darimu. Begitu pula, akan tampak jelas bahwa segala keburukan karena Allah tidak memperdulikan dan sebagai hukuman dari-Nya. Oleh sebab itu seharusnya kamu berdoa dan berlindung kepada-Nya agar Dia menjagamu dari terjerumus ke dalamnya dan supaya Allah tidak membiarkan kamu tanpa bantuan dalam melakukan kebaikan maupun meninggalkan keburukan. Semua orang yang arif sepakat bahwasanya segala kebaikan bersumber dari taufik Allah kepada hamba. Dan segala keburukan sumbernya adalah ketika Allah tidak memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka pun sepakat bahwa hakikat taufik itu adalah Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan/diabaikan itu adalah tatkala Allah membiarkan kamu mengurus dirimu sendiri tanpa bantuan-Nya. Apabila semua kebaikan bersumber dari taufik, sementara ia ada di tangan Allah bukan di tangan hamba. Maka kunci untuk membukanya adalah dengan berdoa, merasa butuh di hadapan-Nya, memulangkan segala permasalahan kepada-Nya, dan senantiasa menyimpan harap dan takut kepada-Nya. Demikian keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (lihat al-Fawa’id, hal. 94 cet. Dar al-‘Aqidah)

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap raka’at sholat; baik sholat wajib maupun sholat sunnah.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 114)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam sholat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridhai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya dia masih membutuhkan Dzat yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga kemauan itu  tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan Dzat yang membuatnya mampu melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah diketahuinya. Disamping itu, tidak semua kebenaran yang diketahuinya dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/25-26]) 

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kebenaran yang belum kita ketahui jumlahnya jauh berkali lipat lebih banyak daripada kebenaran yang sudah kita ketahui. Kebenaran yang sudah kita ketahui dan tidak ingin kita kerjakan kerena faktor meremehkan atau malas bisa jadi seimbang jumlahnya dengan kebenaran yang ingin kita kerjakan, atau bahkan jauh lebih banyak, atau kurang dari itu. Begitu pula, kebenaran yang tidak sanggup kita lakukan dibandingkan dengan yang sanggup kita lakukan pun demikian keadaannya. Kebenaran yang sudah kita ketahui secara global pun mungkin masih terlalu banyak yang tidak kita ketahui rinciannya. Oleh sebab itulah maka kita membutuhkan hidayah yang sempurna.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9) 

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. al-‘Ankabut: 69)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menafsirkan, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad/kesungguh-sungguhan. Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang mengantarkan ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518])


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/dua-macam-hidayah-yang-kita-butuhkan/